Senin, 06 Juli 2009

Waltz with Bashir


Siksa Rekonstruksi Masa Silam


Perang identik dengan siksaan. Bahkan bagi pihak yang tampil sebagai ‘pemenang’.Gambaran rasa bersalah karena terlibat dalam spiral kekerasan yang seringkali begitu brutal itulah yang tak bisa ditekan begitu saja. Dan sering menimbulkan problem psikologis yang berentetan. Gambaran sisi kelam para prajurit sesudah pereang inilah yang diungkap oleh sutradara Israel, Ari Folman, dalam filmnya yang jempolan : Waltz With Bashir. Film yang berdurasi 87 menit ini menyajikan bentuk animasi yang halus dan memperkaya genre baru yang disebut sebagai animated documentary, Terasa jelas nuansa noir yang menggigit, dengan mengambil bentuk narasi pengakuan (confession theme) disertai sisipan dokudrama yang menggetarkan tentang peristiwa pembantaian kamp Sabra-Shatila. Pantaslah bila film ini memenangkan sebuah piala sebagai Film Berbahasa Asing Terbaik di arena kompetisi Golden Globe Awards 2009.

Sama sekali tak ada imaji kemegahan sebagai mana layaknya ending film perang konvensional, seperti yang menggambarkan adegan Perang Dunia II dalam film perang tahun ’70-an misalnya, di mana nuansa keagungan menjadi aura pihak pemenang. Karena bukahkan dia telah berhasil mengalahkan pihak aggresor, tentara Jerman ? Waltz With Bashir.justru dibuka dengan adegan sebuah mimpi buruk, yang mirip sebuah scene dalam film horor : Sekelompok anjing liar berwajah garang berlarian buas, menerjang apa saja di depannya, menuju satu arah. Dan berhenti menatap seorang pemuda yang berada di sebuah apartemen. Gerombolan anjing liar bermata nyalang ini menatapnya dengan sorot mata penuh dendam.

Keganasan perang ( bentuk nyatanya adalah pertempuran yang amat tidak seimbang, antara tentara Israel yang terlatih dan bersenjata lengkap dengan sepasukan milisi Palestina si Lebanon) bahkan menimbulkan banyak problem amnesia bagi mereka yang terlibat di dalamnya. “ Aku tak ingat apa pun tentang Perang Lebanon. Hanya ada satu gambaran dalam ingatanku,” kata seorang mantan prajurit Israel. “ Gambaran apa ?” “ Sepasukan tentara yang mengambang di laut, lalu berjalan ke pantai seperti pasukan zombie.”

Semua ini berasal dari pengalaman sang sutradara sendiri saat dia menjalani wajib militer di usia 19 tahun, sebagai prajurit infanteri Israel. Di tahun 2006, dia bersua dengan teman-teman militernya yang dihantui problem kejiwaan yang berkaitan dengan Perang Lebanon di tahun 1982. Serangkaian terapi psikologis yang ditempuh para mantan prajurit ini bahkan tak bisa menghapuskan rasa bersalah dan perasaan traumatis mereka.

Semua terasa menyiksa karena mereka yang terlibat dalam perang begitu acak, tanpa pilihan, apa lagi gambaran tentang kenyataan yang bakal dihadapi nanti. Banyak prajurit atau milisi yang terlibat tanpa rencana, sertingkali hanya karena berada dalam faktor sebab-akibat dari rentetan peristiwa. Seperti pengakuan prajurit muda, “ Aku belum pernah melihat darah dan luka yang terbuka. Kini aku mengomandani sebuah tank, penuh dengan orang mati dan terluka, mencari sinar terang, keselamatan..”


Perjalanan piknik ke alam baka

Banyak memang angan angan anak muda yang terjun ke medan perang dengan heroisme yang meluap tak ubahnya melakukan sebuah perjalanan pembersihan. Apalagi di atas kertas posisi mereka memang di atas angina. Seperti pengakuan prajurit muda Israel lainnya, “ Kami menyebrerangi perbatasan Posh-Hamika seperti piknik saja. Brsenang-senag sebelum beraksi.” Memang asyik berada di atas tank yang menderu di kawasan pemukiman yang sudah luluh akibat hujan bom dari angkasa, sambil menyerukan lagu perang. Sebelum terjungkal oleh peluru snipper yang masih bertahan.

Folman sendiri adalah sutradara film dokumenter yang sebelumnya tak pernah menggarap film aninmasi. Dia kini menggunakan animasi sebagai jalan terbaik untuk merekonstruksikan kenangan, fantasi, halusinasi dan berbagai kemungkinan yang menyertainya di kini dan di masa silam. Sepertinya Forman tak sanggup membuat film ini dalam adegan nyata, mengingat kepiluan yang bahkan menggenangi sisa ingatan mereka yang menjadi pemenang.

Tentu saja adegan kuncinya : Pembantaian kamp Sabra-Shatila yang menyertai serbuan Israel ke Lebanon di tahun 1982, hingga kini masih menyimpan kepahitan, yang terkunci di lorong ingatan para pelaku dan mereka yang menyaksikan. Faktanya, pengungsi Pelstina di kedua kamp yang malang itu memang dibantai oleh milisi Kristen Phalangis yang pro-Israel. Tapi kenapa tentara Israel membiarkan hal ini terjadi di depan mata mereka? Forman merasa kesulitan untuk menemukan jawaban, kecuali seberkas keyakinan, bahwa bagaimanapun juga, di antara sekian banyak prajurit Israel, pasti ada yang mau bicara jujur tentang hal ini. Maka diapun menemui teman-teman lamanya yang pernah bertugas dalam Perang Lebanon itu, dan membujuknya agar mereka mau bicara.

Kasus Sabra-Shatila sendiri, menurut Folman sukup rumit dantak terhindarkan. “ Kini hal seupa masih terjadi di Rwanda, Somalia dan sebagainya. Bahkan penyerbuan Gaza beberapa waktu berselang berlangsung tanpa ada reaksi yang serius dari negara Arab di Timur Tengah. “ Semua bermula dari pemujaan terhadap Bashir Gemayel, presiden terpilih di Lebanon. Kekacauan jaadi tak terkendali karena saat akan dilantik sebagai presiden Lebanon, Bashir terbunuh. Pada momen inilah komandang unit infantri Folman, yang bernama Galil, nekat menerjang lintasan peluru milisi Palestina, yang bersembunyi dfi gedung-gedung sebuah jalanan di Beirut. Galil menembak sambil berputar-putar seakan sedang menari waltz, dinding di atasnya terlukis gambar besar Bashir Gemayel yang penuh lubang peluru. Saat itu pula para pendukung Bashir menyiapkan pembalasan dari jarak 200 meter. Terjadilah pembantaian Sabra-Shatila.

Sebagai sebuah film yang anti perang, Waltz with Bashir disambut hangat di mana-mana. Bahkan dalam Israeli Film Academy sendiri meraih enam piala, termasuk kategori Fim Terbaik. Apakah ini menandakan adanya keterbukaan dari pemerintah Israel terhadap kekerasan perang yang melibatkan pasukan mereka ?

Yang jelas gaya kelam dari teknik animasi yang memadu pola rotoscoping dan CGI ini jadi terasa nyaman di tangan Folman , animasi komputer umtuk menampilkan adegang realis manusia dan settingnya terasa mengalir lancer, dan wajar. Soundtrack orisinil yang digarap pun dipilih fari karya para musisi minimalis seperti Max Richter yang menampilkan ulang anthem anti perang Enola Gay karya generasi new wave OMD (Orchestra Manouver in the Dark), atau legu getir seperti This is Not a Love Song (PiL), juga lagu Good Morning Lebanon yang dibawakan oleh artis Lebanon; Navadei Haucaf , yang khusus dicipta untuk film ini. (Heru Emka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar