Senin, 06 Juli 2009

Sinema Horor Asia


Sinema Horor Asia


Oleh : Heru Emka

Hollywood, sebagai pusat pasar film dunia, ternyata membutuhkan nuansa Asia sebagai stimulan kelancaran roda industri hiburan mereka. Posisi Hollywood sebagai mainstream industri film dunia akan menampilkan jualan yang itu-itu saja tanpa ada nuansa baru yang berbeda. Dan inilah yang sedang didulang Hollywood dari sinema horror Asia. Ya. Sinema horror Asia kini sedang bergerak menjadi komoditas ekspor yang seksi berkat muatan lokal yang bisa diolah ulang, tak ubahnya seperti buah-buahan tropis yang nampak menggoda selera karena bentuknya yang tak nampak biasa bagi orang Amerika.

Saat ini para produser Hollywood menengok ke Asia, sibuk berburu tema yang bisa menjadi daya tarik dari bisnis film seram mereka. Sebelumnya, The Ring (2002) yang diangkat dari film horror Jepang ( Ringu, 1998) meledak menghasillan pemasukan 250 juta dolar. Kemudian The Grudge (2004), yang diangkat dari film horror berjudul Ju-On karya Takashi Shimizu, meraih sukses berikutnya. Film seram yang dibintangi oleh Sarah Michell Gellar ini membukukan keuntungan lebih dari 188 juta dolar. Dan remake versi Hollywood tetap digarap oleh sutradara film aslinya; Takashi Shimizu. Dengan sukses komersial seperti ini, The Grudge pun dibuat sekuelnya yang jedua. The Ring malah sudah beredar dengan sekuelnya yang ketiga.

Setahun kemudian film Jepang lainnya, Dark Water (2001) digarap ulang dengan bintang pemenang Oscar; Jennifer Connelly, sebagai pemeran utama. Sukses film horror Jepang (J-horror) di pentas dunia ini terus berlanjut hingga tahun 2008 kemarin, dengan remake film One Missed Call, yang diangkat dari film berjudul sama karya sutradara Takasha Miike. Tak hanya sineas Jepang yang memetik keuntungan dari maraknya fenomena film horror Asia, namun juga sineas muda dari Korea, dan juga Thailand. Tahun silam, film The Eye karya sutradara muda Thailand, Pang Bersaudara, digarap ulang di Hollywood, dengan judul yang sama. Dampaknya, kedua sitradara kakak-beradik ini menerima order berikutnya, untuk menggarap ulang film laga mereka; Bangkok Dangerous, bersama bintang beken Nicolas Cage sebagai pemeran utamanya.

Di tangan para sineas Asia - dengan atmosfer budaya yang khas - hasrat untuk meneror penonton menemukan banyak jalan. Sumber rasa takut dalam sinema horror Asia tak hanya para iblis, namun juga arwah pengantin yang kesepian, atau bahkan bersumber dari peralatan sehari-hari seperti kamera, ponsel, air, rumah baru, siswi SMA, bahkan ada kisah tentang hantu iseng yang merasuki sebuah sepatu dan menimbulkan korban.

Film One Missed Call misalnya , berkisah tentang hantu yang menteror manusia melalui telepon seluler. Sedangkan film Thailand, Shutter, berkisah tentang arwah penasaran yang menghantui seseorang melalui lensa kamera, sehingga dalam foto apa pun, hantu itu tetap ada. Peralatan elektronik, seperti komputer, juga bisa menjadi media bagi sang hantu untuk meneror korbannya. Getar aneh di layar komputer dalam film Pulse, misalnya, mampu membuat korbannya menggantung diri. Bahkan secara tak terduga, rambut bisa menjadi benda yang amat mematikan dalam film Korea; The Wig.

Sebagian besar orang Asia akrab dengan air, karena kawasan ini kaya dengan hutan tropis dan sungai-sungai besar. Namun dalam film Dark Water, bocoran air yang selalu menetes di sebuah kamar justru menjadi sumber terror yang mematikan. Bahkan peralatan tulis seperti buku notes, bisa menjadi penyebab kematian, seperti yang dikisahkan dalam film Death Note, yang juga digemari para remaja kita.
Tak heran bila sinema horor Asia tak saja menemukan banyak penggemar baru di Amerika, namun bahkan menjadi kajian tersendiri bagi para sineas Amerika, karena alam budaya Asia amat kayaa dengan folklore dan berbagasi mitos seram tradisional lainnya. Juga berbagai takhayul dan kepercayaan akan mahluk gaib lokal (urban legend) yang begitu beragam. Bagi sineas Amerika, semua ini penuh daya tarik sebagai sisi lain ( distinguishing features) yang memikat untuk diolah.

Faktor lainnya adalah sisi kehidupan orang Asia yang dianggap memikat , seperti ritual kepercayaan, kebiasaan hidup, seksualitas, bahkan masalah sosial yang dianggap berkaitan dengan takdir, bahkan bencana akibat struktur sosial yang salah atau malapetaka akibat kegagalan penyalahgunaan ilmu bisa menjadi pemicu kisah horror yang mencekam. Kemelut moralitas pribadi seperti kehormatan, harga diri dan pembalasan dendam juga menjadi bagian yang terpisahkan dari budaya dan folklore Asia, sehingga tema ini nampak begitu dominant dalam berbagai film horror Asia.


Bermula dari Korea

Sebenarnya fenomena horror Asia ini bermula di tahun 1997, saat sutradara Korea Selatan, Ahn Byung-Ki merilis film horornya yang berjudul Nightmare, yang berkisah tentang sekelompok remaja yang sedang berkemah dan saling berbagi cerita seram. Satu persatu dari mereka kemudian tewas secara aneh dan mengenaskan, Narasi yang unik, bahasa visual yang impresif serta plot cerita yang penuh kejutan membuat para kritikus Amerika menyebut film ini sebagai "New Asian Horror".

Sejak saat itu gelombang pasang sinema horor Asia pun membanjiri wilayah kekuasaan Hollywood, dan gerilya pemasaran yang dilakukan oleh jaringan pemasaran film independent melambungkan film Ringu–nya Hideo Nakata sebagai faktor sukses yang membuka mata Hollywood terhadap keunggulan sinema Asia. Industri perfilman Thailand, pada saat yang tepat merasuk ke Hollywood sebagai gelombang ketiga dari invasi sinema horror Asia.

Film Thailand yang berjudul Nang Nak meledak di pasaran. Film yang mengakat cerita rakyat seram ) folk ghost story) ini mengharu biru dengan kisah tentang seorang istri yang meninggal dunia pada masa penantian sang suami yang pergi merantau. Romantika cinta yang terpadu dengan nuansa noir film horror ini sukses mengharu biru emosi para penonton Amerika. Bahkan film Nang nak pula yang membuat para produser Hollywood untuk meminta Francis Ford Copolla membuat film horror romantis, yang kemudian menghasilkan film Bram Stoker’s Draculla.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar