Sabtu, 22 Agustus 2009

Film Revolusi yang Malu-malu dengan Sejarah

Oleh : Heru Emka

sinemaheruemka.blogspot.com



Lebih dari seperempat abad lamanya blantika sinema kita tak disapa oleh film yang bertemakan revolusi, seakan menegaskan bahwa era penuh perjuangan fisik ini tak perlu dikenang lagi. Memang, amat jauh rasanya masa yang terentang, setengah abad perjalanan sejarah bangsa yang seakan telah menjadi gaung lengang dari sebuah gema kecil pekik kemerdekaan di belakang,- namun juga mencerminkan ketakacuhan sebuah bangsa dalam mewariskan nilai dari apa yang disebut rasa cinta tanah air dan kebangsaan.

Maka, ketika film Merah Putih hadir di tengah kita, di bulan kemerdekaan ini, banyak anak muda yang terperangah, oh masih ada toh film tentang revolusi, sementara sebagian lainnya merasa cukup susah untuk mempertautkan diri antara élan vital revolusi dengan nuansa gaya hidup santai di millennium ini. Banyak di antara meereka yang memahami revolusi sebagai ‘ kita dijajah oleh Belanda dan Jepang, lalu kita lawan mereka untuk merebut kemerdekaan’. Nyaris dingin, tanpa penghayatan sebagai sebuah ‘nation’ yang mendambakan kebebasan, yang menyongsong arus jaman yang bertgolak, sebagaimana yang dilukiskan oleh Bung Karno tentang pemuda di masa lalu. Anak muda sekarang memang tak lagi hidup di masa itu.

Namun, bagaimanakah film Merah Putih ini berusaha menginspirasi kaum muda sekarang ini dengan nilai kebangsaan dan pahlawanan ? Sang sutradara, Yadi Suganda, sejak awal menegaskan film ini dibuat pada saat rasa nasionalisme sudah memudar di kalangan anak muda kita, dan dengan film Merah Putih ini, diharapkan “ Kaum muda kita akan lebih memahami nilai juang dan kepahkawanan bangsa, “ begitu yang diucapkannya dalam peluncuran film di sebuah stasiun TV,

Skenario film ini berangkat dari kisah perjuangan Margono Djojohadikusumo, ketua Dewan Pertimbangan Agung pertama republik ini. Dia pernah melanjutkan perjuangan Partai Nasionalis Indonesia, saat tokoh-tokoh partai itu ditangkap dan dibuang. Margono juga merupakan kakek pengusaha Hasjim Djojohadikusumo, produser eksekutif film ini. Dan Merah Putih disiapkan sebagai trilogi saga fiksi yang berdurasi total sembilan jam.

Ide cerita ini lah yang diolah menjadi skenario oleh Connor Allyn. Kisahnya

berfokus pada perjuangan lima kadet yang mengikuti latihan kemiliteran di Jawa Tengah, dengan latar belakang kehidupan mereka yang berbeda suku dan agama. Suatu saat, tentara Belanda menyerang pusat latihan itu, menewaskan siwa sekolah militer itu, kecuali kelima anak muda ini, yang berhasil meloloskan diri. Mereka lalu bergabung dengan gerilyawan yang dipimpin Jenderal Soedirman.

Merah Putih yang dibesut dalam format seluloid 35 millimeter ini digarap dengan melibatkan tim internasional, seperti Adam Howarth ( pakar special effect ) yang pernah menangani film perang seperti Saving Private Ryan dan Blackhawk Down. Adegan laganya dibantu oleh peñata aksi stunt; Rocky McDonald yang sudah menggarap adegan pertarungan dalam Mission Impossible II. Lantas urusan make-up dan visual effects dikerjakan oleh Rob Trenton, yang berkiprah di film The Dark Knight.

Menghindari Sejarah

Film ini didukung Lukman Sardi (Amir), Donny Alamsyah (Tomas), Teuku Rifnu Wikana (Dayan), Darius Sinathrya (Marius), Zumi Zola (Soerono), Astri Nurdin (Melati, istri Amir) dan pendatang baru Rahayu Saraswati (Senja). Agar Merah Putih menjadi tontonan yang menarik pengusaha Hashim Djojohadikusumo tak segan mengeluarkan biaya besar; sekitar Rp 60 miliar. Hasilnya Merah Putih nebhadi sebuah film perang yang mengesankan, bila kita tak berpegang pada identitas dan sejarah perjuangan perang kemerdekaan kita . Semua adegan laga di film ini memang seru enak dicerna, seperti layaknya film perang Hollywood, termasuk adegan ledakan di jembatan kereta api, yang patut kita sangsikan apakah adegan seperti ini pernah terjadi dalam revolusi kemerdekaan kita ?

"Itu memang kita eksploitasi. Pada 1947, saya belum lahir. Jadi saya tak tahu ledakan zaman dulu itu seperti apa," kata sutradaranya, mengakui Yadi mencontohkan. Hal-hal lain yang seharusnya menjadi pijakan fakta sejarah , ternyata juga difiksikan seperti moda transportasi, segala macam aksesori, mode pakaian, tanda kepangkatan, dan berbagai gaya busana dan nuansa kehidupan sehari-hari di masa revolusi. Tokoh-tokoh sejarah, seperti Soedirman, juga digambarkan selintas. "Takut salah juga," kata yadi Sugandi. Pantaslah kita melihat pakaian para pejuang kita begitu rapi dan trendi. Begitu juga nuansa perang gerilya, jauh dari ketegangan jiwa akibat menghadapi pasukan lawan yang jauh lebih kuat dan lengkap persenjataannya.

Jelaslah film Merah Putih hanya memotret heroisme fisik dari adegan baku tembak semata, seperti yang terjadi pada film Pasukan Berani Mati ( Imam Tantowi, 1982) ) dan Komando Samber Nyawa (Eddy G Bakker 1985). Mungkin kita bisa belajar dari tiga film lama tentang revolusi kemerdekaan kita; Untuk Sang Merah Putih ( M.Said, 1950), Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950) dan Enam Djam di Djogja ( Usmar Ismail, 1950), yang masih tersimpan di Sinematek. Walau ketiga film hitam putih ini berkisah tentang manusia di masa revolusi, tetap mencerminkan fakta sejarah yang ada. Bahkan peran Soeharto dalam Enam Djam di Djogja, digambarkan apa adanya, tanpa ada pretensi untuk menjilat dan memuji-muji.

Bagaimana dengan film perjuangan yang dibuat pada masa yang lebih modern ? Bisa kita contohkan tiga di antaranya, yakni Serangan Fajar ( Arifin C. Noer, 1981), Kereta Api Terahir (Mochtar Soemodimedjo, 1981) dan Kartini (Syumanjaya, 1981). Ketiganya adalah film yang mencoba memandang sejarah dari sudut pandang masa paska kolonialisme dan perang kemerdekaan. Kartini, yang menampilkan bintang tenar tahun ’80-an, (Yenny Rachman, Adi Kurdi ) tetap menggenggam fakta sejarah. Kereta Api Terakhir, yang dibintangi ikon kaum muda; Gito Rollies, dan berusaha menampilkan sisi heroik kaum pekerja kereta api di masa revolusi, tak melupakan detil sejarah. Arifin C. Noer, dalam Serangan Fajar, sengaja menciptakan Temon, si anak revolusi, sebagai perangkai beberapa peristiwa sejarah seperti Penyerbuan Kota Baru dan sebagainya. Masihkah Merah Putih, yang katanya digarap dengan ‘gelegak nasionalisme anak muda’ justru menghindari sejarah ?

Rabu, 22 Juli 2009

Film robotik


Transformasi, Mitos dan Mimpi Terkini

Oleh : Heru Emka

heruemka@yahoo.com


Hollywood baru saja merayakan sukses komersial film Transformer 2 : Revenge of The Fallen, yang memang sedang dinantikan oleh para pecinta film laga bergenre scifi.

Dalam film berdurasi 149 menit, garapan Michael Bay ini, memang tergambarkan adegan pertempuran dahsyat antara para mahluk alien yang berbentuk robot, dari kubu Autobot dan Deception, dengan segala bentuk kecanggihan mereka untuk mentransormasikan diri, dari penyamaran dalam bentuk aneka mobil, dalam wujud aslinya sebagai robot gigantik dengan daya penghancur tinggi.

Salah satu pimpinan robot antagonis, The Fallen, bahkan berencana untuk menghisap energi matahari untuk berkuasa dan memusnahkan bumi. Untunglah pimpinan robot protagonis, Optimus Prime beserta kelompoknya berpihak pada Pentagon untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Kita lepaskan sejenak jalan cerita yang memang digagas untuk melariskan mobil mainan produksi Hasbro, juga tanpa berpikir, kenapa semua alien yang saling bermusuhan ini, sama sepakat untuk menyamar dalam berbagai bentuk kendaraan yang ada di AS ? Yang jelas terbaca dari tren film seperti ini adalah betapa budaya pop Amerika berhasil mendesakkan konsep transformasi ( dari pemuda lugu bernama Clark Kent menjadi mahluk super kuat bernama Superman, dan seterusnya) sebagai bagian dari harapan dan mimpi panjang untuk menjadi pemenang.

Mitos tentang kesaktian para dewa di jaman dulu, oleh industri budaya pop kini dengan sukses diterjemahkan sebagai semua keutamaan dan keunggulan manusia super ( hasrat untuk mengatasi keterbatasan fisik manusia) berikut perluasan fantasi akan robot (perlambang harapan akan kemampuan mempersekutukan teknologi) dalam sejarah panjang Hollywood. Di dunia nyata, visi manusia terhadap pengembangan robot memang kian meningkat, dan di layar perak, metamorfosa fisikal robot dan kecerdasan buatannya melaju lebih kencang, dari bentuk Manusia Kaleng (Tin Man) dalam Wizard of Oz hingga cyborg penyelamat bumi dalam Terminator 2.

Sebelumnya para penulis fiksi ilmiah seperti H.G. Wells, Francis Flagg atau Karel Capek telah memulai ekpslotasi imajinernya tentang ‘mesin yang hidup’, yang dihadirkan secara visual oleh para sutradara film, dengan penafsiran dan dramatisasi sebegitu rupa hingga lebih dinikmati daripada sekedar gambaran fantasi semata.

Keresahan psikologis masyarakat industri

Kecemasan ini (terhadap salah fungsi teknologi ) lantas menjadi tema dalam berbagai film tentang robot, dianggap sebagai keresahan psikologis tersendiri bagi masyarakat industri. Otomatisasi yang menghalau peran manusia memuncak pada dramatisasi perebutan kekuasaan oleh para robot terhadap manusia. Dalam wacana budaya pop seperti komik atau novel sci-fi, robot banyak digambarkan dalam berbagai bentuk dan penampilan yang beragam, mulai dari pelayan yang patuh dan efisien hingga sebagai mesin pintar yang ‘jahat’ dan merancang ‘penghianatan’ sistematis terhadap penciptanya.

Dalam film Forbidden Planet (1956), si robot bernama Robbie adalah sahabat yang setia. Maria, robot ‘perempuan’ dalam Metropolis, bahkan tampil sebagai robot seksi yang pertama kali. Serial Star Wars-nya George Lucas memberikan gambaran robot gemuk R2D2 (baca : artuditu) yang mengingatkan kita akan peranan paea punakawan dalam kisah wayang.

Transformasi robot dari sebuah mesin semata menjadi mahluk-setengah-manusia baru muncul dalam film Blade Runner karya Ridley Scott. Dalam film ini, digambarkan bahwa manusia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan cyborg (manusia setengah robot). Para cyborg di film ini tak saja bisa melakukan kejahatan, namun juga bisa menjalin hubungan cinta den gan manusia.

Tema ini lalu digambarkan ikut membelah kepribadian manusia, kemudian memicu dilema moral. Problematika antara hubungan robot dan manusia pun mengalami babak baru dalam film Hollywood. Tak lagi sebatas budak dan tuannya, atau seperangkat mesin dan teknisi penciptanya, namun juga berada dalam suatu kondisi krisis yang mengancam keutuhan identitas manusia, baik secara moral atau psikologis.

Gene Rodenberry, penulis cerita fiksi ilmiah Star Trek, mengatakan, “ Dalam wacana fiksi-ilmiah, robot tak lagi diberi identitas sebagai sebuah benda serba guna, namun kemudian dijelmakan juga sebagai perluasan sifat manusia itu sendiri (extension of man) yang sebenarnya amat didambakan, namun tak bisa terwujud dalam kenyataan. Robot bisa melakukan berbagai hal yang tak bisa dilakukan oleh manusia, karena keterbatasan fisik dan kemampuan manusia. Gagasan awal tentang cyborg dan para humanoid (mahluk buatan yang ben tuknya seperti manusia ) lainnya adalah awal dari penggambaran mimpi kita sendiri, untuk menjadi mahluk super yang melampaui keterbatasan fisiknya.”

Apa yang diungkapkan oleh Roddenberry dalam Science Fiction and Borders menunjukkan eksistensi kekinian yang tak saja terjadi di ranah fiksi, namun dalam realitas teknologi. Moralitas kloning dan pencangkokan indera buatan pada mnusia kini mulai menjadi ‘mainan’ yang digemari para ilmuwan. “ Semua diilhami pesona khayali film fiksi ilmiah yang selama ini telah melenakan manusia di seluruh dunia, “ ujarnya lagi.

Dilema emosional yang terjadi saat manusia berinteraksi dengan para robot, tadinya memang hanya sebatas bumbu cerita semata, agar film robot bisa nyantol di hati penontonnya. Upaya lebih jauh lagi untuk mempertajam konflik kepribadian manusia yang tercekam situasi robotik justru dilakukan oleh Hollywood dengan memadukan bentuk fisik robot dengan emosi humanis, seperti kita lihat dalam film Robocop. Dalam film garapan sutradara Irvin Kershner ini, aktor Peter Weller berperan sebagai seorang polisi yang sengaja ‘dicangkokkan’ dalam tubuh robot. Yang muncul adalah tahapan hidup tragis, tentang bagaimana perasaan seseorang yang amat sadar dirinya terpenjara dalam sebuah mesin, sementara memorinya sebagai manusia masih tersisa dan berjuang keras untuk melawan program komputer yang berusaha mendesak kesadarannya sebagai manusia ke tingkat yang paling rendah.

Karena film robot telah menjadi genre tersendiri yang memiliki penonton fanatik dari segala usia, Hollywood terus memperbaharui tema-tema yang bisa diangkat untuk mengemas film robot menjadi tontonan yang laris manis di pasaran. Dalam film robot produksi Pixar; Wall-E, para robot digambarkan bisa mengembangkan kecerdasan buatannya sendiri hingga mencapai tahap empati. Bahkan bisa jatuh cinta segala. .

Sebuah ‘percintaan mekanik’ seperri ini pasti cukup unik, karena apakah yang mendasari perasaan cinta robot ? Bagaimanakah mereka mengidentifikasi ‘lawan jenisnya’ ? Apakah berdasarkan pesona seksual seperti manusia ? Atau apakah ada logika cinta yang sama sekali berbeda ? Inilah babak baru ‘dunia robot’ di layar Hollywood.


Senin, 06 Juli 2009

Kiat India agar tetap Mendunia


Kebangkitan Kedua Sinema India

Oleh : Heru Emka


Saat menontonnya, bisa jadi Anda meragukan identitas film ini : Apakah film India, atau film Mandarin ? Film Chandni Chowk in China. garapan sutradara Nikhil Advani memang sebuah film hibrida, yang digarap dalam semangat untuk mencari ‘wilayah baru’ bagi pemasaran film India, yang dari terus bertambah kuotanya. Kita baru saja menyaksikan kebolehan kiat India melebarkan batas resepsi filmnya di dunia, dengan keberhasilan Slumdog Millionaire,- yang tak saja meraih delapan Oscar, namun juga kembali meletakkan sinema Bollywood sebagai menu dan isu seksi dalam etalase perfilman dunia.

Dari sisi ini saja terbukti sudah keunggulan lobi dan diplomasi para produser Bollywood dalam mengadopsi konsep waralaba. Kiatnya sederhana saja : biarlah pembuat atau pemodalnya orang Amerika, asalkan hasil sepenuhnya tetap film India. Bila Slumdog Millionaire sukses menggebrak pasar dunia, maka Chandni Chowk in China diarahkan untuk menembus pasar Asia Timur, yang dianggap sebagai ceruk tersendiri yang potensial dari segi komersial, dan memiliki basis penonton yang yang fanatik terhadap genre film laga.

Sesuai konsep jualan (harus dibedakan dengan Slumdog Millionaire yang dibuat untuk meraih gengsi ) Chandni Chowk in China berkisah tentang pemuda semau gue bernama Sidhu (dimainkan dengan bagus oleh Akshay Kumar ) yang hidup sebagai penjaja makanan di pinggiran jalanan Chandni Chowk, kawasan urban berpenduduk padat di Delhi. Pemuda yang setengah mati mendambakan cinta Chaki (Deepika Padukone ) amatlah heran ketika didatangi dua petani Cina yang mengatakan bila dirinya adalah penjelmaan Liu Shiang, pahlawan mereka. Kedua nya memang mencari pendekar untuk membebaskan desa mereka dari cengkeraman Hojo (Gordon Liu) si penjahat keji.

Sidhu akhirnya berangkat ke China bersama Chaki. Segalanya jadi berantakan saat dia keliru menggandeng seorang dara yang mirip Chaki, padahal sebenarnya adalah Meow Meow, seorang pembunuh bayaran (juga dimainkan oleh Deepika), sedangkan polisi menangkap Chaki, yang dikira Meow Meow. Dalam upaya untuk menyelamatkan Chaki, Sidhu menyadari bila keduanya adalah pasangan kembar. Untuk menghhadapi ancaman kawanan Hojo, tentu saja Sidgu terlibat perualangan yang kocak dab seru yang kemudian menjadikannya sebagai pendekar yang menaklukkan Hojo.

Chandni Chowk to China yang memadu beberapa genre pun mengalir liar lengkap membuka segmen baru Bollywood dengan adegan tata kelahi slapstick ala Jackie Chen. Seperti Sawaariya (2007) yang didanai Sony,- Chandni Chowk (dana Warner Brothers ) mewakili investasi perusahaan besar Hollywood di blantika sinema India. Warner bahkan

Memutar film ini di 120 bioskop utamanya di 50 kota besar dunia.

Kekuatan film seni

Manjunath.Pendakur dalam bukunya; Indian Popular Cinema: Industry, Ideology and Consciousness (Cresskill, NJ: Hampton Press, 2003) menyebutkan bahwa India telah lama beranjak dari gaya sinema tradisional mereka, yang bermula dari konsep film seni yang mengangkat tema lokalitas, seperti yang diawali oleh sutradara legendaris; Satyajit Ray yang menggebrak dunia dengan karya jempolannya, trilogi Apu, yakni Pather Panchali (1955), Aparajito (1957) dan The World of Apu (1959). Para kritikus film dunia memuji film art India yang menonjolkan nilai humanisme universal. Ketika industri film India tumbuh pesat di tahun ’70-an yang ditandai dengan melonjaknya produksi film laga dan melodrama yang menjual air mata, - film seni masih menjadi kekuatan India di blantika sinema dunia. Misalnya, Satyajit Ray masih berjaya dengan film The Chess Players (1977) di berbagai kancah festival film utama.

Paduan kensep film seni yang digarap dengan bentuk narasi dan idiom budaya pop, bahasa gambar puitis agaknya sedang menjadi jurus favorit sineas India masa kini. Gaya ini menjadi andalan film Bollywood kontemporer yang mulai pede untuk menyerbu pasar film Eropa dan Amerika, seperti film Delhi-6 (2009) karya Rakeysh Omprakash Mehra ) dan Luck By Chance (2009) yang disutradarai oleh Zoya Akhtar.

Bila Delhi-6 menampilkan bintang idola masa kini seperti Abhishek Bachchan, Sonam Kapoor, Waheeda Rahman, Rishi Kapoor,- Luck By Chance malah bertaburan dengan nama beken seperti Farhan Akhtar, Konkona Sen Sharma, Hrithik Roshan, Isha Sharvani, Juhi Chawla, Dimple Kapadia, Sanjay Kapoor, disamping penampilan khusus para legenda Bollywood seperti Shabana Azmi, Shahrukh Khan, Rani Mukherjee, Kareena Kapoor, Dia Mirza, Ranbir Kapoor, Vivek Oberoi dan beberapa lagi.

Delhi-6 berkisah tentang Roshan (Abhishek Bachchan) seorang Amerika keturunan India, yang menemani neneknya (Waheeda Rahman) yang sakit dan merindukan kampung halamannya. Walau telah lama tinggal di Amerika, sang nenek masih mempunyai sebuah rumah di pinggiran Delhi.lama. Walau raga Roshan sepenuhnya India, bicara dalam bahasa Hindi, namun dia memandang India dari sudut pandang Amerika sepenuhnya : Sebuah tempat yang menarik, penuh warna sekaligus brengsek, korup dan menjengkelkan. Roshan sempat berontak terhadap situasi ini dan menantang Ranvijay (Vijay Raaz) polisi brengsek. Namun pertemuannya dengan si cantik Bittu (Sonam Kapoor) yang ingin menjadi bintang reality TV, membuatnya sadar akan realitas yang harus diterimanya.

Luck By Chance juga berkisah tentang mimpi kaum muda India dalam gemerlap mimpi kemashuran. Vikram Jaisingh (Farhan Akhtar) datang ke Mumbai untuk mengejar mimpi menjadi aktor kondang. Ternyata dia harus menjawab tantangan keras bahwa Bollywood cukup kejam bagi mereka yang belum punya nama. Di sela perjalanan Roshan mengejar peran, dia jatuh cinta dengan Sona Mishra (Konkona Sen Sharma), ‘aktris’ yang menjadi simpanan ‘produser’ Chowdhury (Alyy Khan). Semua gemerlap Mumbai sebagai ibukota Bolltwood ternyata hanya tirai ilusi. Chowdhury hanya seorang agen, yang menikmati tubuh Mishra dengan menjanjikan peran besar, yang tak pernah dfidapatkannya. Bisnis film di Mumbai adalah medan perjuangan. Yang harus dilewati dengan nepotisme, KKN, mengorbankan idealisme, menjual diri, atau sepenuhnya berharap dari keberuntungan, yang suatu saat memang mampu merubah seseorang menjadi bintang.

Narasi cerita, idiom gambar dan sudut pandang permasalahan yang diangkat film India masa kini memang telah beranjak ke depan. Melodrama tetap ada, tapi sudah hadir dalam kemasan yang memikat untuk dijual ke pasaran dunia.

Sinema Horor Asia


Sinema Horor Asia


Oleh : Heru Emka

Hollywood, sebagai pusat pasar film dunia, ternyata membutuhkan nuansa Asia sebagai stimulan kelancaran roda industri hiburan mereka. Posisi Hollywood sebagai mainstream industri film dunia akan menampilkan jualan yang itu-itu saja tanpa ada nuansa baru yang berbeda. Dan inilah yang sedang didulang Hollywood dari sinema horror Asia. Ya. Sinema horror Asia kini sedang bergerak menjadi komoditas ekspor yang seksi berkat muatan lokal yang bisa diolah ulang, tak ubahnya seperti buah-buahan tropis yang nampak menggoda selera karena bentuknya yang tak nampak biasa bagi orang Amerika.

Saat ini para produser Hollywood menengok ke Asia, sibuk berburu tema yang bisa menjadi daya tarik dari bisnis film seram mereka. Sebelumnya, The Ring (2002) yang diangkat dari film horror Jepang ( Ringu, 1998) meledak menghasillan pemasukan 250 juta dolar. Kemudian The Grudge (2004), yang diangkat dari film horror berjudul Ju-On karya Takashi Shimizu, meraih sukses berikutnya. Film seram yang dibintangi oleh Sarah Michell Gellar ini membukukan keuntungan lebih dari 188 juta dolar. Dan remake versi Hollywood tetap digarap oleh sutradara film aslinya; Takashi Shimizu. Dengan sukses komersial seperti ini, The Grudge pun dibuat sekuelnya yang jedua. The Ring malah sudah beredar dengan sekuelnya yang ketiga.

Setahun kemudian film Jepang lainnya, Dark Water (2001) digarap ulang dengan bintang pemenang Oscar; Jennifer Connelly, sebagai pemeran utama. Sukses film horror Jepang (J-horror) di pentas dunia ini terus berlanjut hingga tahun 2008 kemarin, dengan remake film One Missed Call, yang diangkat dari film berjudul sama karya sutradara Takasha Miike. Tak hanya sineas Jepang yang memetik keuntungan dari maraknya fenomena film horror Asia, namun juga sineas muda dari Korea, dan juga Thailand. Tahun silam, film The Eye karya sutradara muda Thailand, Pang Bersaudara, digarap ulang di Hollywood, dengan judul yang sama. Dampaknya, kedua sitradara kakak-beradik ini menerima order berikutnya, untuk menggarap ulang film laga mereka; Bangkok Dangerous, bersama bintang beken Nicolas Cage sebagai pemeran utamanya.

Di tangan para sineas Asia - dengan atmosfer budaya yang khas - hasrat untuk meneror penonton menemukan banyak jalan. Sumber rasa takut dalam sinema horror Asia tak hanya para iblis, namun juga arwah pengantin yang kesepian, atau bahkan bersumber dari peralatan sehari-hari seperti kamera, ponsel, air, rumah baru, siswi SMA, bahkan ada kisah tentang hantu iseng yang merasuki sebuah sepatu dan menimbulkan korban.

Film One Missed Call misalnya , berkisah tentang hantu yang menteror manusia melalui telepon seluler. Sedangkan film Thailand, Shutter, berkisah tentang arwah penasaran yang menghantui seseorang melalui lensa kamera, sehingga dalam foto apa pun, hantu itu tetap ada. Peralatan elektronik, seperti komputer, juga bisa menjadi media bagi sang hantu untuk meneror korbannya. Getar aneh di layar komputer dalam film Pulse, misalnya, mampu membuat korbannya menggantung diri. Bahkan secara tak terduga, rambut bisa menjadi benda yang amat mematikan dalam film Korea; The Wig.

Sebagian besar orang Asia akrab dengan air, karena kawasan ini kaya dengan hutan tropis dan sungai-sungai besar. Namun dalam film Dark Water, bocoran air yang selalu menetes di sebuah kamar justru menjadi sumber terror yang mematikan. Bahkan peralatan tulis seperti buku notes, bisa menjadi penyebab kematian, seperti yang dikisahkan dalam film Death Note, yang juga digemari para remaja kita.
Tak heran bila sinema horor Asia tak saja menemukan banyak penggemar baru di Amerika, namun bahkan menjadi kajian tersendiri bagi para sineas Amerika, karena alam budaya Asia amat kayaa dengan folklore dan berbagasi mitos seram tradisional lainnya. Juga berbagai takhayul dan kepercayaan akan mahluk gaib lokal (urban legend) yang begitu beragam. Bagi sineas Amerika, semua ini penuh daya tarik sebagai sisi lain ( distinguishing features) yang memikat untuk diolah.

Faktor lainnya adalah sisi kehidupan orang Asia yang dianggap memikat , seperti ritual kepercayaan, kebiasaan hidup, seksualitas, bahkan masalah sosial yang dianggap berkaitan dengan takdir, bahkan bencana akibat struktur sosial yang salah atau malapetaka akibat kegagalan penyalahgunaan ilmu bisa menjadi pemicu kisah horror yang mencekam. Kemelut moralitas pribadi seperti kehormatan, harga diri dan pembalasan dendam juga menjadi bagian yang terpisahkan dari budaya dan folklore Asia, sehingga tema ini nampak begitu dominant dalam berbagai film horror Asia.


Bermula dari Korea

Sebenarnya fenomena horror Asia ini bermula di tahun 1997, saat sutradara Korea Selatan, Ahn Byung-Ki merilis film horornya yang berjudul Nightmare, yang berkisah tentang sekelompok remaja yang sedang berkemah dan saling berbagi cerita seram. Satu persatu dari mereka kemudian tewas secara aneh dan mengenaskan, Narasi yang unik, bahasa visual yang impresif serta plot cerita yang penuh kejutan membuat para kritikus Amerika menyebut film ini sebagai "New Asian Horror".

Sejak saat itu gelombang pasang sinema horor Asia pun membanjiri wilayah kekuasaan Hollywood, dan gerilya pemasaran yang dilakukan oleh jaringan pemasaran film independent melambungkan film Ringu–nya Hideo Nakata sebagai faktor sukses yang membuka mata Hollywood terhadap keunggulan sinema Asia. Industri perfilman Thailand, pada saat yang tepat merasuk ke Hollywood sebagai gelombang ketiga dari invasi sinema horror Asia.

Film Thailand yang berjudul Nang Nak meledak di pasaran. Film yang mengakat cerita rakyat seram ) folk ghost story) ini mengharu biru dengan kisah tentang seorang istri yang meninggal dunia pada masa penantian sang suami yang pergi merantau. Romantika cinta yang terpadu dengan nuansa noir film horror ini sukses mengharu biru emosi para penonton Amerika. Bahkan film Nang nak pula yang membuat para produser Hollywood untuk meminta Francis Ford Copolla membuat film horror romantis, yang kemudian menghasilkan film Bram Stoker’s Draculla.

Waltz with Bashir


Siksa Rekonstruksi Masa Silam


Perang identik dengan siksaan. Bahkan bagi pihak yang tampil sebagai ‘pemenang’.Gambaran rasa bersalah karena terlibat dalam spiral kekerasan yang seringkali begitu brutal itulah yang tak bisa ditekan begitu saja. Dan sering menimbulkan problem psikologis yang berentetan. Gambaran sisi kelam para prajurit sesudah pereang inilah yang diungkap oleh sutradara Israel, Ari Folman, dalam filmnya yang jempolan : Waltz With Bashir. Film yang berdurasi 87 menit ini menyajikan bentuk animasi yang halus dan memperkaya genre baru yang disebut sebagai animated documentary, Terasa jelas nuansa noir yang menggigit, dengan mengambil bentuk narasi pengakuan (confession theme) disertai sisipan dokudrama yang menggetarkan tentang peristiwa pembantaian kamp Sabra-Shatila. Pantaslah bila film ini memenangkan sebuah piala sebagai Film Berbahasa Asing Terbaik di arena kompetisi Golden Globe Awards 2009.

Sama sekali tak ada imaji kemegahan sebagai mana layaknya ending film perang konvensional, seperti yang menggambarkan adegan Perang Dunia II dalam film perang tahun ’70-an misalnya, di mana nuansa keagungan menjadi aura pihak pemenang. Karena bukahkan dia telah berhasil mengalahkan pihak aggresor, tentara Jerman ? Waltz With Bashir.justru dibuka dengan adegan sebuah mimpi buruk, yang mirip sebuah scene dalam film horor : Sekelompok anjing liar berwajah garang berlarian buas, menerjang apa saja di depannya, menuju satu arah. Dan berhenti menatap seorang pemuda yang berada di sebuah apartemen. Gerombolan anjing liar bermata nyalang ini menatapnya dengan sorot mata penuh dendam.

Keganasan perang ( bentuk nyatanya adalah pertempuran yang amat tidak seimbang, antara tentara Israel yang terlatih dan bersenjata lengkap dengan sepasukan milisi Palestina si Lebanon) bahkan menimbulkan banyak problem amnesia bagi mereka yang terlibat di dalamnya. “ Aku tak ingat apa pun tentang Perang Lebanon. Hanya ada satu gambaran dalam ingatanku,” kata seorang mantan prajurit Israel. “ Gambaran apa ?” “ Sepasukan tentara yang mengambang di laut, lalu berjalan ke pantai seperti pasukan zombie.”

Semua ini berasal dari pengalaman sang sutradara sendiri saat dia menjalani wajib militer di usia 19 tahun, sebagai prajurit infanteri Israel. Di tahun 2006, dia bersua dengan teman-teman militernya yang dihantui problem kejiwaan yang berkaitan dengan Perang Lebanon di tahun 1982. Serangkaian terapi psikologis yang ditempuh para mantan prajurit ini bahkan tak bisa menghapuskan rasa bersalah dan perasaan traumatis mereka.

Semua terasa menyiksa karena mereka yang terlibat dalam perang begitu acak, tanpa pilihan, apa lagi gambaran tentang kenyataan yang bakal dihadapi nanti. Banyak prajurit atau milisi yang terlibat tanpa rencana, sertingkali hanya karena berada dalam faktor sebab-akibat dari rentetan peristiwa. Seperti pengakuan prajurit muda, “ Aku belum pernah melihat darah dan luka yang terbuka. Kini aku mengomandani sebuah tank, penuh dengan orang mati dan terluka, mencari sinar terang, keselamatan..”


Perjalanan piknik ke alam baka

Banyak memang angan angan anak muda yang terjun ke medan perang dengan heroisme yang meluap tak ubahnya melakukan sebuah perjalanan pembersihan. Apalagi di atas kertas posisi mereka memang di atas angina. Seperti pengakuan prajurit muda Israel lainnya, “ Kami menyebrerangi perbatasan Posh-Hamika seperti piknik saja. Brsenang-senag sebelum beraksi.” Memang asyik berada di atas tank yang menderu di kawasan pemukiman yang sudah luluh akibat hujan bom dari angkasa, sambil menyerukan lagu perang. Sebelum terjungkal oleh peluru snipper yang masih bertahan.

Folman sendiri adalah sutradara film dokumenter yang sebelumnya tak pernah menggarap film aninmasi. Dia kini menggunakan animasi sebagai jalan terbaik untuk merekonstruksikan kenangan, fantasi, halusinasi dan berbagai kemungkinan yang menyertainya di kini dan di masa silam. Sepertinya Forman tak sanggup membuat film ini dalam adegan nyata, mengingat kepiluan yang bahkan menggenangi sisa ingatan mereka yang menjadi pemenang.

Tentu saja adegan kuncinya : Pembantaian kamp Sabra-Shatila yang menyertai serbuan Israel ke Lebanon di tahun 1982, hingga kini masih menyimpan kepahitan, yang terkunci di lorong ingatan para pelaku dan mereka yang menyaksikan. Faktanya, pengungsi Pelstina di kedua kamp yang malang itu memang dibantai oleh milisi Kristen Phalangis yang pro-Israel. Tapi kenapa tentara Israel membiarkan hal ini terjadi di depan mata mereka? Forman merasa kesulitan untuk menemukan jawaban, kecuali seberkas keyakinan, bahwa bagaimanapun juga, di antara sekian banyak prajurit Israel, pasti ada yang mau bicara jujur tentang hal ini. Maka diapun menemui teman-teman lamanya yang pernah bertugas dalam Perang Lebanon itu, dan membujuknya agar mereka mau bicara.

Kasus Sabra-Shatila sendiri, menurut Folman sukup rumit dantak terhindarkan. “ Kini hal seupa masih terjadi di Rwanda, Somalia dan sebagainya. Bahkan penyerbuan Gaza beberapa waktu berselang berlangsung tanpa ada reaksi yang serius dari negara Arab di Timur Tengah. “ Semua bermula dari pemujaan terhadap Bashir Gemayel, presiden terpilih di Lebanon. Kekacauan jaadi tak terkendali karena saat akan dilantik sebagai presiden Lebanon, Bashir terbunuh. Pada momen inilah komandang unit infantri Folman, yang bernama Galil, nekat menerjang lintasan peluru milisi Palestina, yang bersembunyi dfi gedung-gedung sebuah jalanan di Beirut. Galil menembak sambil berputar-putar seakan sedang menari waltz, dinding di atasnya terlukis gambar besar Bashir Gemayel yang penuh lubang peluru. Saat itu pula para pendukung Bashir menyiapkan pembalasan dari jarak 200 meter. Terjadilah pembantaian Sabra-Shatila.

Sebagai sebuah film yang anti perang, Waltz with Bashir disambut hangat di mana-mana. Bahkan dalam Israeli Film Academy sendiri meraih enam piala, termasuk kategori Fim Terbaik. Apakah ini menandakan adanya keterbukaan dari pemerintah Israel terhadap kekerasan perang yang melibatkan pasukan mereka ?

Yang jelas gaya kelam dari teknik animasi yang memadu pola rotoscoping dan CGI ini jadi terasa nyaman di tangan Folman , animasi komputer umtuk menampilkan adegang realis manusia dan settingnya terasa mengalir lancer, dan wajar. Soundtrack orisinil yang digarap pun dipilih fari karya para musisi minimalis seperti Max Richter yang menampilkan ulang anthem anti perang Enola Gay karya generasi new wave OMD (Orchestra Manouver in the Dark), atau legu getir seperti This is Not a Love Song (PiL), juga lagu Good Morning Lebanon yang dibawakan oleh artis Lebanon; Navadei Haucaf , yang khusus dicipta untuk film ini. (Heru Emka)