Transformasi, Mitos dan Mimpi Terkini
Oleh : Heru Emka
heruemka@yahoo.com
Hollywood baru saja merayakan sukses komersial film Transformer 2 : Revenge of The Fallen, yang memang sedang dinantikan oleh para pecinta film laga bergenre scifi.
Dalam film berdurasi 149 menit, garapan Michael Bay ini, memang tergambarkan adegan pertempuran dahsyat antara para mahluk alien yang berbentuk robot, dari kubu Autobot dan Deception, dengan segala bentuk kecanggihan mereka untuk mentransormasikan diri, dari penyamaran dalam bentuk aneka mobil, dalam wujud aslinya sebagai robot gigantik dengan daya penghancur tinggi.
Salah satu pimpinan robot antagonis, The Fallen, bahkan berencana untuk menghisap energi matahari untuk berkuasa dan memusnahkan bumi. Untunglah pimpinan robot protagonis, Optimus Prime beserta kelompoknya berpihak pada Pentagon untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran. Kita lepaskan sejenak jalan cerita yang memang digagas untuk melariskan mobil mainan produksi Hasbro, juga tanpa berpikir, kenapa semua alien yang saling bermusuhan ini, sama sepakat untuk menyamar dalam berbagai bentuk kendaraan yang ada di AS ? Yang jelas terbaca dari tren film seperti ini adalah betapa budaya pop Amerika berhasil mendesakkan konsep transformasi ( dari pemuda lugu bernama Clark Kent menjadi mahluk super kuat bernama Superman, dan seterusnya) sebagai bagian dari harapan dan mimpi panjang untuk menjadi pemenang.
Mitos tentang kesaktian para dewa di jaman dulu, oleh industri budaya pop kini dengan sukses diterjemahkan sebagai semua keutamaan dan keunggulan manusia super ( hasrat untuk mengatasi keterbatasan fisik manusia) berikut perluasan fantasi akan robot (perlambang harapan akan kemampuan mempersekutukan teknologi) dalam sejarah panjang Hollywood. Di dunia nyata, visi manusia terhadap pengembangan robot memang kian meningkat, dan di layar perak, metamorfosa fisikal robot dan kecerdasan buatannya melaju lebih kencang, dari bentuk Manusia Kaleng (Tin Man) dalam Wizard of Oz hingga cyborg penyelamat bumi dalam Terminator 2.
Sebelumnya para penulis fiksi ilmiah seperti H.G. Wells, Francis Flagg atau Karel Capek telah memulai ekpslotasi imajinernya tentang ‘mesin yang hidup’, yang dihadirkan secara visual oleh para sutradara film, dengan penafsiran dan dramatisasi sebegitu rupa hingga lebih dinikmati daripada sekedar gambaran fantasi semata.
Keresahan psikologis masyarakat industri
Kecemasan ini (terhadap salah fungsi teknologi ) lantas menjadi tema dalam berbagai film tentang robot, dianggap sebagai keresahan psikologis tersendiri bagi masyarakat industri. Otomatisasi yang menghalau peran manusia memuncak pada dramatisasi perebutan kekuasaan oleh para robot terhadap manusia. Dalam wacana budaya pop seperti komik atau novel sci-fi, robot banyak digambarkan dalam berbagai bentuk dan penampilan yang beragam, mulai dari pelayan yang patuh dan efisien hingga sebagai mesin pintar yang ‘jahat’ dan merancang ‘penghianatan’ sistematis terhadap penciptanya.
Dalam film Forbidden Planet (1956), si robot bernama Robbie adalah sahabat yang setia. Maria, robot ‘perempuan’ dalam Metropolis, bahkan tampil sebagai robot seksi yang pertama kali. Serial Star Wars-nya George Lucas memberikan gambaran robot gemuk R2D2 (baca : artuditu) yang mengingatkan kita akan peranan paea punakawan dalam kisah wayang.
Transformasi robot dari sebuah mesin semata menjadi mahluk-setengah-manusia baru muncul dalam film Blade Runner karya Ridley Scott. Dalam film ini, digambarkan bahwa manusia sudah terbiasa hidup berdampingan dengan cyborg (manusia setengah robot). Para cyborg di film ini tak saja bisa melakukan kejahatan, namun juga bisa menjalin hubungan cinta den gan manusia.
Tema ini lalu digambarkan ikut membelah kepribadian manusia, kemudian memicu dilema moral. Problematika antara hubungan robot dan manusia pun mengalami babak baru dalam film Hollywood. Tak lagi sebatas budak dan tuannya, atau seperangkat mesin dan teknisi penciptanya, namun juga berada dalam suatu kondisi krisis yang mengancam keutuhan identitas manusia, baik secara moral atau psikologis.
Gene Rodenberry, penulis cerita fiksi ilmiah Star Trek, mengatakan, “ Dalam wacana fiksi-ilmiah, robot tak lagi diberi identitas sebagai sebuah benda serba guna, namun kemudian dijelmakan juga sebagai perluasan sifat manusia itu sendiri (extension of man) yang sebenarnya amat didambakan, namun tak bisa terwujud dalam kenyataan. Robot bisa melakukan berbagai hal yang tak bisa dilakukan oleh manusia, karena keterbatasan fisik dan kemampuan manusia. Gagasan awal tentang cyborg dan para humanoid (mahluk buatan yang ben tuknya seperti manusia ) lainnya adalah awal dari penggambaran mimpi kita sendiri, untuk menjadi mahluk super yang melampaui keterbatasan fisiknya.”
Apa yang diungkapkan oleh Roddenberry dalam Science Fiction and Borders menunjukkan eksistensi kekinian yang tak saja terjadi di ranah fiksi, namun dalam realitas teknologi. Moralitas kloning dan pencangkokan indera buatan pada mnusia kini mulai menjadi ‘mainan’ yang digemari para ilmuwan. “ Semua diilhami pesona khayali film fiksi ilmiah yang selama ini telah melenakan manusia di seluruh dunia, “ ujarnya lagi.
Dilema emosional yang terjadi saat manusia berinteraksi dengan para robot, tadinya memang hanya sebatas bumbu cerita semata, agar film robot bisa nyantol di hati penontonnya. Upaya lebih jauh lagi untuk mempertajam konflik kepribadian manusia yang tercekam situasi robotik justru dilakukan oleh Hollywood dengan memadukan bentuk fisik robot dengan emosi humanis, seperti kita lihat dalam film Robocop. Dalam film garapan sutradara Irvin Kershner ini, aktor Peter Weller berperan sebagai seorang polisi yang sengaja ‘dicangkokkan’ dalam tubuh robot. Yang muncul adalah tahapan hidup tragis, tentang bagaimana perasaan seseorang yang amat sadar dirinya terpenjara dalam sebuah mesin, sementara memorinya sebagai manusia masih tersisa dan berjuang keras untuk melawan program komputer yang berusaha mendesak kesadarannya sebagai manusia ke tingkat yang paling rendah.
Karena film robot telah menjadi genre tersendiri yang memiliki penonton fanatik dari segala usia, Hollywood terus memperbaharui tema-tema yang bisa diangkat untuk mengemas film robot menjadi tontonan yang laris manis di pasaran. Dalam film robot produksi Pixar; Wall-E, para robot digambarkan bisa mengembangkan kecerdasan buatannya sendiri hingga mencapai tahap empati. Bahkan bisa jatuh cinta segala. .
Sebuah ‘percintaan mekanik’ seperri ini pasti cukup unik, karena apakah yang mendasari perasaan cinta robot ? Bagaimanakah mereka mengidentifikasi ‘lawan jenisnya’ ? Apakah berdasarkan pesona seksual seperti manusia ? Atau apakah ada logika cinta yang sama sekali berbeda ? Inilah babak baru ‘dunia robot’ di layar Hollywood.