Oleh : Heru Emka
sinemaheruemka.blogspot.com
Lebih dari seperempat abad lamanya blantika sinema kita tak disapa oleh film yang bertemakan revolusi, seakan menegaskan bahwa era penuh perjuangan fisik ini tak perlu dikenang lagi. Memang, amat jauh rasanya masa yang terentang, setengah abad perjalanan sejarah bangsa yang seakan telah menjadi gaung lengang dari sebuah gema kecil pekik kemerdekaan di belakang,- namun juga mencerminkan ketakacuhan sebuah bangsa dalam mewariskan nilai dari apa yang disebut rasa cinta tanah air dan kebangsaan.
Maka, ketika film Merah Putih hadir di tengah kita, di bulan kemerdekaan ini, banyak anak muda yang terperangah, oh masih ada toh film tentang revolusi, sementara sebagian lainnya merasa cukup susah untuk mempertautkan diri antara élan vital revolusi dengan nuansa gaya hidup santai di millennium ini. Banyak di antara meereka yang memahami revolusi sebagai ‘ kita dijajah oleh Belanda dan Jepang, lalu kita lawan mereka untuk merebut kemerdekaan’. Nyaris dingin, tanpa penghayatan sebagai sebuah ‘nation’ yang mendambakan kebebasan, yang menyongsong arus jaman yang bertgolak, sebagaimana yang dilukiskan oleh Bung Karno tentang pemuda di masa lalu. Anak muda sekarang memang tak lagi hidup di masa itu.
Namun, bagaimanakah film Merah Putih ini berusaha menginspirasi kaum muda sekarang ini dengan nilai kebangsaan dan pahlawanan ? Sang sutradara, Yadi Suganda, sejak awal menegaskan film ini dibuat pada saat rasa nasionalisme sudah memudar di kalangan anak muda kita, dan dengan film Merah Putih ini, diharapkan “ Kaum muda kita akan lebih memahami nilai juang dan kepahkawanan bangsa, “ begitu yang diucapkannya dalam peluncuran film di sebuah stasiun TV,
Skenario film ini berangkat dari kisah perjuangan Margono Djojohadikusumo, ketua Dewan Pertimbangan Agung pertama republik ini. Dia pernah melanjutkan perjuangan Partai Nasionalis Indonesia, saat tokoh-tokoh partai itu ditangkap dan dibuang. Margono juga merupakan kakek pengusaha Hasjim Djojohadikusumo, produser eksekutif film ini. Dan Merah Putih disiapkan sebagai trilogi saga fiksi yang berdurasi total sembilan jam.
Ide cerita ini lah yang diolah menjadi skenario oleh Connor Allyn. Kisahnya
berfokus pada perjuangan lima kadet yang mengikuti latihan kemiliteran di Jawa Tengah, dengan latar belakang kehidupan mereka yang berbeda suku dan agama. Suatu saat, tentara Belanda menyerang pusat latihan itu, menewaskan siwa sekolah militer itu, kecuali kelima anak muda ini, yang berhasil meloloskan diri. Mereka lalu bergabung dengan gerilyawan yang dipimpin Jenderal Soedirman.
Merah Putih yang dibesut dalam format seluloid 35 millimeter ini digarap dengan melibatkan tim internasional, seperti Adam Howarth ( pakar special effect ) yang pernah menangani film perang seperti Saving Private Ryan dan Blackhawk Down. Adegan laganya dibantu oleh peñata aksi stunt; Rocky McDonald yang sudah menggarap adegan pertarungan dalam Mission Impossible II. Lantas urusan make-up dan visual effects dikerjakan oleh Rob Trenton, yang berkiprah di film The Dark Knight.
Menghindari Sejarah
Film ini didukung Lukman Sardi (Amir), Donny Alamsyah (Tomas), Teuku Rifnu Wikana (Dayan), Darius Sinathrya (Marius), Zumi Zola (Soerono), Astri Nurdin (Melati, istri Amir) dan pendatang baru Rahayu Saraswati (Senja). Agar Merah Putih menjadi tontonan yang menarik pengusaha Hashim Djojohadikusumo tak segan mengeluarkan biaya besar; sekitar Rp 60 miliar. Hasilnya Merah Putih nebhadi sebuah film perang yang mengesankan, bila kita tak berpegang pada identitas dan sejarah perjuangan perang kemerdekaan kita . Semua adegan laga di film ini memang seru enak dicerna, seperti layaknya film perang Hollywood, termasuk adegan ledakan di jembatan kereta api, yang patut kita sangsikan apakah adegan seperti ini pernah terjadi dalam revolusi kemerdekaan kita ?
"Itu memang kita eksploitasi. Pada 1947, saya belum lahir. Jadi saya tak tahu ledakan zaman dulu itu seperti apa," kata sutradaranya, mengakui Yadi mencontohkan. Hal-hal lain yang seharusnya menjadi pijakan fakta sejarah , ternyata juga difiksikan seperti moda transportasi, segala macam aksesori, mode pakaian, tanda kepangkatan, dan berbagai gaya busana dan nuansa kehidupan sehari-hari di masa revolusi. Tokoh-tokoh sejarah, seperti Soedirman, juga digambarkan selintas. "Takut salah juga," kata yadi Sugandi. Pantaslah kita melihat pakaian para pejuang kita begitu rapi dan trendi. Begitu juga nuansa perang gerilya, jauh dari ketegangan jiwa akibat menghadapi pasukan lawan yang jauh lebih kuat dan lengkap persenjataannya.
Jelaslah film Merah Putih hanya memotret heroisme fisik dari adegan baku tembak semata, seperti yang terjadi pada film Pasukan Berani Mati ( Imam Tantowi, 1982) ) dan Komando Samber Nyawa (Eddy G Bakker 1985). Mungkin kita bisa belajar dari tiga film lama tentang revolusi kemerdekaan kita; Untuk Sang Merah Putih ( M.Said, 1950), Darah dan Doa (Usmar Ismail, 1950) dan Enam Djam di Djogja ( Usmar Ismail, 1950), yang masih tersimpan di Sinematek. Walau ketiga film hitam putih ini berkisah tentang manusia di masa revolusi, tetap mencerminkan fakta sejarah yang ada. Bahkan peran Soeharto dalam Enam Djam di Djogja, digambarkan apa adanya, tanpa ada pretensi untuk menjilat dan memuji-muji.
Bagaimana dengan film perjuangan yang dibuat pada masa yang lebih modern ? Bisa kita contohkan tiga di antaranya, yakni Serangan Fajar ( Arifin C. Noer, 1981), Kereta Api Terahir (Mochtar Soemodimedjo, 1981) dan Kartini (Syumanjaya, 1981). Ketiganya adalah film yang mencoba memandang sejarah dari sudut pandang masa paska kolonialisme dan perang kemerdekaan. Kartini, yang menampilkan bintang tenar tahun ’80-an, (Yenny Rachman, Adi Kurdi ) tetap menggenggam fakta sejarah. Kereta Api Terakhir, yang dibintangi ikon kaum muda; Gito Rollies, dan berusaha menampilkan sisi heroik kaum pekerja kereta api di masa revolusi, tak melupakan detil sejarah. Arifin C. Noer, dalam Serangan Fajar, sengaja menciptakan Temon, si anak revolusi, sebagai perangkai beberapa peristiwa sejarah seperti Penyerbuan Kota Baru dan sebagainya. Masihkah Merah Putih, yang katanya digarap dengan ‘gelegak nasionalisme anak muda’ justru menghindari sejarah ?